by: Dewi Andriani (Sparasbi)
Sekolah. Apa yang pertama kali muncul dipikiran anda ketika mendengar kata ‘sekolah’? Kebanyakan kita berpikir pada murid dan guru, gedung sekolah dan seragam, segala peraturan yang harus di taati, dan apalagi? Pekerjaan rumah? Hukuman? Perkelahian? Atau apa pun lah itu, yang pasti dan sangat penting yaitu pengalaman. Kita mendapatkan pengalaman dari sekolah.
Anda pernah dengar kata-kata bijak yang kurang lebih seperti ini, ‘experience is the best teacher’? Artinya apa? Pengalaman adalah guru yang paling baik. Atau bisa dijelaskan seperti ini, pengalaman yang anda dapat adalah pengajar yang paling baik, pedoman yang bisa anda gunakan untuk memutuskan sesuatu sebelum bertindak, dan mendapatkan pelajaran dari apa yang sudah anda lakukan. Dengan belajar dari pengalaman, anda bisa mencegah kesalahan yang sudah anda perbuat sebelumnya. Lalu apalagi yang bisa dijelaskan dari kata2 bijak tersebut? Atau anda sudah paham dengan penjelasan singkat itu? Sudahlah, semua orang yang pernah merasakan yang namanya sekolah, pasti mengerti dan tahu apa maksud saya. Toh, tidak perlu penjelasan pun mereka akan paham dengan sendirinya.
Lalu apa hubungannya dengan anak satu ini? Tentu saja berhubungan, karena dia akan berbagi pengalaman tentang masa sekolanya dulu. Oh bukan. Belum bisa dikatakan ‘dulu’, karena itu baru saja terjadi. Setidaknya belum lama ini. Dia adalah orang biasa, sangat biasa. Dengan hidup yang biasa, orang tua biasa, adik kakak biasa, penampilan biasa, semuanya biasa. Tidak ada yang bisa dibanggakan dari gadis ini, selain otak encernya. Ya, bisa dibilang encer kalau dia sedang berada didalam kelas. Setiap ada pertanyaan dari guru, kelancarannya menjawab pertanyaan seperti air terjun yang mengalir. Anda bisa bayangkan bagaimana ‘kan? Walaupun begitu, dia sangat tidak beruntung dalam bidang sosialisasi. Bisa dibilang, gadis ini tidak punya teman sama sekali selama masa sekolahnya. Apa yang terjadi ? benarkah dia tidak punya teman?? Bukan berarti dia adalah orang jahat atau orang yang pantas di jauhi sehingga dia tidak punya teman. Hal itu terjadi karena sebaliknya, dia sendiri yang menghindar dari orang lain. Oh, sungguh sulit ditebak kenapa gadis ini melakukan hal tersebut. Bukankah itu akan membuat dia sendiri kesusahan. Bagaimana kalau dia sampai pada waktu ketika dia membutuhkan orang lain? Anda juga pasti tahu, tidak ada manusia yang bisa hidup sendiri. Mereka membutuhkan orang lain untuk hidup. Kata ‘hiidup’ sudah mewakili segalanya , bahwa manusia butuh manusia lain. Mungkin si gadis punya alasan kuat kenapa dia melakukan hal tidak masuk akal dan terbilang aneh itu. Nanti akan diceritakan, jadi anda bersabarlah.
==>>>
Hari biasa, si gadis berjalan terus menuju sekolahnya yang biasa saja. Tunggu, kenapa dari tadi saya memakai kata-kata ‘biasa’? Apakah anda mau kata-kata yang berbeda dari saya? Nanti, bersabarlah.
Senin yang sibuk, indentik dengan sebutan ‘I hate Monday’ di seluruh negeri. Begitu juga yang dirasakan oleh gadis ini. Hari yang membosankan akan segera ia lewati, berbeda dengan teman-temannya yang lain. Kalau saja ia punya teman, pasti tidak akan semembosankan begini. Diliriknya jam tangan berwarna hitam hadiah dari ayahnya, sudah menunjukkan pukul tujuh tepat. ‘Masih banyak waktu.’ Pikirnya dalam hati. Sekolahnya menetapkan masuk jam setengah delapan, dan sekarang masih ada waktu setengah jam lagi untuk kakinya berjalan menuju sekolah.
Seragam SMA yang dipakainya bisa digunakan untuk menebak dimana ia bersekolah. Suna Gakuen, itulah nama SMA nya. Sekolah dengan ranking paling bawah ketika penilaian seluruh sekolah di tokyo dilakukan. Alasannya, karena fasilitas yang kurang lengkap. Kalau boleh dibilang, sekolah itu adalah sekolah orang dengan ekonomi yang sangat biasa ( sebutan halus untuk miskin, oopppsss). Orang tuanya tidak bisa membiayainya masuk ke SMA bagus, padahal gadis itu lulus pada ujian masuk SMA terkenal di Tokyo. Bagaimanapun, tidak bisa dipaksakan hal yang diluar kehendak nya. Ia hanya bisa menuruti kata2 orang tua dan menerima nasib. Ia tidak mengeluh, tidak pula kecewa dengan orang tua nya, dalam pikirannya sekarang adalah bagaimana ia bisa memperoleh ijazah Sma dengan nilai yang membanggakan sehingga ia tidak malu memandang wajah lelah orang tuanya itu.
Baru beberapa saat ia memasuki gerbang sekolah, tiba-tiba seseorang berpakaian hitam serta hiasan dasi hitam datang menghampirinya. Si gadis merasa orang itu tidak mungkin bermaksud untuk menemui dirinya, karena ia sama sekali tidak kenal. Karena itu, dia terus berjalan, menundukkan kepala memberi hormat lalu berjalan terus tanpa mellihat lagi kebelakang.
“ Nona..” panggil orang itu tiba-tiba. Si gadis tersentak kaget, ia pun memandang kebelakang, memastikan kalau bukan dia yang dipanggil.
Orang itu trsenyum kepadanya sambil menundukkan kepala. Salah! Orang itu terlalu hormat kepadanya. Jelas kalau dia lebih tua. Tidak seharusnya orang itu hormat kepadanya.
Si gadis bingung, memandang sekeliling untuk memastikan lagi kalau bukan dia yang di panggil. Tetap saja, tidak salah lagi kalau memang dia yang dipanggil.
“ Nona Denata..” katanya memastikan.
Denata terheran sekali lagi, kenapa dia tahu namanya.
Gadis itu mengangguk.
“ Kakek nona memberikan perintah kepada saya untuk membuatkan surat kepindahan nona dari sekolah ini.” Jelasnya, secara langsung tanpa basa-basi.
“ Kakek? Surat pindah??” tanyanya bingung. Apa maksud orang ini.
“ Sudah saya duga, nona akan bingung. Bagaimana kalau nona ikut dengan saya?” katanyal lagi, langsung.
“ Apa maksudmu? Aku tidak mengerti.” Jawab Denata marah, ia merasa orang ini sudah menipunya. Kenapa secara tiba-tiba dia mengajak nya ikut bersamanya, tentu saja orang akan berpikir dia akan melakukan sesuatu yang jahat.
“ Hanami Denata-sama.” Panggil orang itu lagi ketika Denata berusaha menjauh darinya.
Sekali lagi, Denata terkejut dibuatnya. Selama ini dia memakai nama keluarga ibunya , ‘ Namikaze Denata’. Itulah namanya yang biasa. Sedangkan Hanami adalah marga dari ayahnya. Ia tidak tahu pasti kenapa keluarganya memutuskan begitu, tapi yang jelas ayahnya selalu berkata untuk melindungi keselamatannya.
“ D-darimana kau tau?” tanyanya gugup.
“ Karena itulah, saya meminta nona untuk ikut bersama saya. Saya akan menceritakan semuanya.” Jelasnya , dengan wajah misterius. Sebuah mobil sedan dengan gaya klasik datang mendekat pada mereka berdua.
“ Silahkan, denata-sama.” Ucap orang itu sambil membukakan pintu.
Denata yang sangat penasaran mau tidak mau mengikuti ajakan nya. Toh dia ingin tahu tentang kakeknya, karena tadi orang ini mengatakan tentang kakeknya. Selama 17 tahun, tidak satupun kata yang keluar dari ayah Denata tentang kakeknya.
Mobil berjalan lurus perlahan. Bunyi mesinnya terdengar lembut, menandakan mobil dengan kelas yang sangat tinggi. Seumur hidup, baru kali ini gadis itu menaiki mobil sebagus itu. Tidak sabar, ia segera membuka mulut.
“ Lalu apa?” katanya tidak sabar.
Orang itu tersenyum, lalu menjawab. “sebelumnya izinkan saya memperkenalkan diri. Nama saya adalah Sawatari Hongo, orang kepercayaan kakek nona, Hanami Takasugi-sama.” Katanya sambil membungkukkan badan.
“ Kakek? Hanami Takasugi, berarti ayah dari ayah ku?” tanyanya makin heran. Ayahnya tidak pernah menceritakan tentang kakeknya selama ini.
Hongo mengangguk mengiyakan pertanyaan Denata. “ Lalu aku mau dibawa kemana?”
“ Takasugi-sama memerintahkan saya untuk mengurus kepindahan nona dari sekolah itu. Nona akan disekolahkan di Hiroshi Gakuen, sekolah elite bagi orang kaya dan para artis ternama.” Dia berhenti sejenak mengambil nafas sambil memperhatikan ekspresi nona muda itu. Tentu dia makin kaget dengan semua yang barusan dia dengar. Betapa tidak, Hiroshi Gakuen adalah sekolah paling berkelas di Tokyo. Kalau bukan orang kaya, atau artis terkenal, tidak akan bisa masuk di sekolah itu. Sekolah yang berada jauh lebih atas dibanding sekolahnya sekarang.
“ T-tunggu, apa maksudnya?? Jelaskan lebih detail.” Pintanya, ingin penjelasan yang tidak membuatnya bingung lagi.
“ Tahukah nona, kalau ayah nona adalah putra dari konglomerat Hanami Takasugi, seorang pengusaha sukses paling kaya di Tokyo. Saya sudah mengira kalau nona tidak akan menyangka, karena ayah nona dulu melarikan diri dari rumah karena seorang gadis dan mengabaikan perintah dari takasugi-sama untuk menjadi penerusnya. Dia menyembunyikan diri dan menikah dengan ibu nona. Takasugi-sama sebenarnya tahu dimana tempat persembunyian ayah Nona, tapi karena dia sendiri yang menolak untuk jadi penerus, Takasugi-sama memutuskan untuk menunggu nona dewasa, dan nona yang akan menjadi penerusnya.” Kata Hongo panjang lebar. Ia berharap Denata sudah mengerti dengan penjelasannya itu.
Denata diam sejenak, mencerna semua kata-kata mengejutkan dari Hongo membutuhkan waktu yang lama baginya. Bukan karena dia lambat, tapi karena ia tidak menyangka, ayahnya yang periang dan selalu tersenyum itu adalah seorang anak dari Konglomerat kaya. Ia sangat ingat, ayahnya selalu mengajarkan untuk hidup sederhana dan selalu tersenyum pada semua orang. Bagaimana mungkin orang seperti itu dulunya pernah mengecap yang namanya hidup mewah?
“ K-kenapa harus aku?” tanya Denata, datar.
“ Karena nona adalah satu-satunya cucu dari Takasugi-sama. “ tepat sasaran. Jawabannya tidak membuat penasaran llagi.
“ Apa ayahku tahu tentang hal ini?”
“ Baru saja anak buah saya mendatangi rumah nona dan menjelaskan semuanya. Saya rasa ayah dan ibu nona sudah mendengar penjelasan itu sekarang.” Kembali wajahnya riang, tersenyum ramah pada sang nona.
Denata berpikir sejenak. Apa salahnya dia menerima tawaran kakeknya? Toh di sekolah yang lama dia tidak punya teman, tidak punya seseorang yang menganggapnya penting. Dimana pun ia akan bersekolah, tetap sama. Ia tidak akan membuat suatu ikatan yang menurutnya sangat merepotkan dan akan membuat dirinya sendiri menderita. Tapi disekolah itu, apa dia bisa menyesuaikan diri dengan lingkungannya? Orang kaya pasti berbeda dengan orang yang terlalu biasa sepertinya.
“ Jii-san, apa disana aku akan baik-baik saja?” tanyanya setelah agak lama terdiam.
Hongo melirik nona muda itu , lalu kembali tersenyum ramah. “ Tentu saja. Karena nona adalah keturunan orang paling hebat di tokyo. Nona jangan khawatir.”
Denata tidak menjawab. Ia ingin memikirkan dulu matang-matang semua yang terjadi barusan. Tiba-tiba dia mengetahui tentang kakeknya, tentang masa lalu ayah dan ibunya, dan sekarang ia juga disuruh menjadi penerus perusahaan terkenal, ini terlalu tiba-tiba buatnya. Hiroshi Gakuen, sekolah baru yang akan memberinya banyak pengalaman berharga...
==>>>
“ Hari ini kalian akan kedatangan teman baru. Silahkan, Hanami-san.” Kata guru itu mempersilahkan. Ketika dia sampai disekolah ini, sungguh menakjubkan. Gedungnya didesain dengan anggun, karena arsitekturnya adalah orang terkenal. Disetiap sudut memiliki nilai keindahan yang benar-benar istimewa. Besarnya? Tentu saja sekolah ini sangat besar karena seperenam dari tokyo adalah wilayah sekolah ini. Tidak heran kalau hanya orang kaya dan artis terkenal yang bisa mencicipi sekolah ini.
Denata masuk, memperhatikan sekeliling. Kelas yang sangat besar, lima kali luas kelasnya dulu , ditambah fasilitas yang cukup dan berkelas. Sungguh seperti dalam mimpi. Ia serasa seperti seorang Alice yang salah masuk ke tempat yang bukan seharusnya untuk dia. Kelasnya yang bercat putih dihiasi lampu mahal yang sangat indah, seperti bunga yang mekar di musim semi. Tempat duduknya? Tempat duduknya terpisah, tidak ada yang duduk berdampingan. Ia baru sadar kalau calon teman-teman sekelasnya memperhatikannya dari tadi. Ia memperhatikan mereka satu persatu. Ya Ampun, pantas saja ini disebut sebagai sekolah elite, mereka yang ada disitu bersikap layaknya seorang pangeran dan putri. Cara duduk, cara berpakaian, sampai cara mereka memandang padanya. Satu lagi, semua yang ada disitu mempunyai wajah yang enak dilihat. Apakah orang kaya selalu enak dilihat? Mungkin saja.
“Hanami-san?” kata Guru itu mengangetkan. Sudah dua kali ia memanggil nama depan Denata, tapi ia tidak merespon.
“ Ah, ya.. Gommennasai, sensei.” Katanya sambil membungkuk.
Guru itu sangat ramah, ia pun tersenyum.
“ Silahkan perkenalkan diri.” Katanya dengan lembut.
Denata mengangguk, lalu membungkuk.
“ Ohayou Gozaimasu. Nama saya Namik- eh Hanami Denata.” Katanya memperkenalkan diri. Aduh, kenapa dia salah mengucapkan namanya sendiri. Itu karena ia selalu memperkenalkan diri dengan nama ‘Namikaze Denata’. Semua murid langsung menganga keheranan.
Inilah salah satu bisik2 yang mewakili rasa heran mereka terhadap anak baru.
“ Nee, Mariya. Apa aku tidak salah dengar? Anak dekil seperti itu berasal dari Keluarga Hanami?”
Gadis yang disebut mariya pun menjawab. “ Beruntung sekali anak itu.” Dia tersenyum sinis. “ Dia tidak akan bertahan disini lebih dari dua minggu.”
“ tentu saja. Orang seperti itu biasanya akan merasakan penderitaan yang amat ketika masuk disekolah elit ini.” Jawab temannya membenarkan.
‘Nah, anda mengerti bukan dengan maksud pembicaraan mereka?’
“ Silahkan duduk di bangku paling belakang.” Perintah guru itu pada Denata. Ia pun berjalan ke belakang kelas, yang membutuhkan waktu dua menit untuknya sampai di tempat tujuan. Benar-benar besar kelas ini. Ia masih terheran-heran.
“ Baik, kita akan memulai pelajaran. Buka halaman 27.” Kata guru itu sambil membuka laptopnya. Denata yang tidak tahu pelajaran apa sekarang celingak celinguk melihat kearah samping, berusaha mencari tempatnya bertanya. Semua siswa disitu mempunyai laptop masing-masing, yang berada di atas meja didepan mereka. Laptop? Tentu saja gadis ini tidak punya benda mahal seperti itu. Lalu apa yang harus dia lakukan untuk mengikuti pelajaran ini? Timbullah kebingungannya.
“ Maaf, sensei.” Kata seseorang dari luar. Guru itu mengangguk dan mempersilahkan orang itu masuk. Denata segera menyadari kalau orang itu adalah Hongo. Kenapa Hongo masih disini, padahal tadi dia sudah pamit ketika selesai mengurus admistrasi dengan sekolah.
“ Saya ingin memberikan laptop ini kepada Denata-sama.” Katanya, lalu mendekati Denata sambil membawa laptop dengan merek terkenal itu. “ Denata-sama, silahkan gunakan ini untuk mengikuti pelajaran. Bahan-bahan untuk belajar sudah ada disini semuanya.” Jelas orang separuh baya itu. Denata mengangguk,” arigatou, jii-san”. Katanya sopan. Hongo segera undur diri dan tersenyum sekali lagi pada Denata.
Mulailah pelajaran pertama di sekolah ini, matematika.
Pelajaran yang sebagian besar orang bilang, sangat sulit dan membosankan. Angka adalah hal mutlak, dan satu kebenaran dari pertanyaan adalah hal yang tidak boleh di ganggu gugat dalam matematika. Hanya ada satu jawaban yang benar untuk setiap pertanyaan, bukan seperti pelajaran sosial yang bisa mengatakan kalau satu ditambah satu tidak selalu dua. Kenapa orang begitu menghindari matematika? Satu jawaban, hitung-hitungan. Itulah yang membuat mereka tidak menyukai matematika. Hitung-hitungan membutuhkan ketelitian, kesabaran, dan pikiran yang tajam. Pelajaran yang banyak menunttut ya? Tapi apalah daya, itulah seksinya matematika. Walaupun seksi, hanya orang-orang tertentu yang bisa melihat sisi seksinya. Kembali ke cerita, sekarang Denata adalah murid kelas 2 SMA, dan tanpa disangka gurunya memberikan pertanyaan yang sungguh sulit daripada apa yang pernah ia dapatkan dulu. Satu pertanyaan tentang differensial, harus dikerjakan dalam lima menit.
“ Bagi yang bisa menyelesaikannya, silahkan acungkan tangan. Lima menit dari sekarang.” Kata guru cantik itu. Denata segera mencari jawaban, setelah melihat teman-teman sekelasnya dengan giat dan cepat menyelesaikan pertanyaan itu. Anda tahu bukan, situasi tegang ketika anda mempunyai waktu terbatas untuk menyelesaikan sesuatu. Begitu juga suasana di kelas megah itu sekarang.
“ Ini buruk!” pikir Nona muda dadakan itu panik. Tinggal satu menit lagi untuk menjawab pertanyaan, tapi karena pikirannya yang masih campur aduk karena masalah tadi, membuatnya susah konsentrasi. “ Tuhan..” pintanya dalam hati sambil menutup mata. Itulah yang selalu dilakukannya ketika ujian berlangsung. Ketika ia tidak bisa menjawab pertanyaan, ia akan menutup mata dan berusaha memfokuskan lagi konsentrasinya yang buyar. Sejenak kemudian,
“ Waktunya habis!” kata guru itu lantang.
Murid yang selesai mengerjakan akan mengacungkan tangan. Tebak siapa murid yang melakukan hal itu?
“ Chinen, Hanami, dan Nishiuchi! (Nishiushi adalah mariya)” kata guru itu memastikan. “ tidak ada yang lain lagi?”
Tidak ada murid yang menganggkat tangan selain mereka bertiga. Guru itu tersenyum. ”Jawabannya?” tanya nya , langsung.
“ tiga koma tujuh puluh empat.” Kata mereka bertiga serentak. Sungguh diluar dugaan, mereka menjawab dengan nilai yang sama dan hasilnya tepat. Mereka saling pandang.
“ Bagus, jawaban kalian benar.” Ujar guru itu sambil mengangguk puas. “ Soal yang saya berikan adalah soal ujian masuk universitas, dan dari kalian semua, mereka bertiga bisa menjawab. Saya bangga dengan kalian..”
Teman-teman mereka yang lain memperhatikan mereka bertiga dengan tatapan kagum. Kalau Chinen dan Mariya, sudah tidak diragukan lagi karena mereka memang pintar. Setiap pembagian rapor, Chinen selalu menempati peringkat pertama, sedangkan Mariya di peringkat kedua. Tapi kalau anak baru ini? Dilihat dari seragamnya yang sangat biasa, tidak terlihat sama sekali kalau dia memiliki otak encer. Kalau anda melihat dari segi kehidupan nyata, tidak semua orang suka dengan orang pintar kan? Itu juga akan terjadi terhadap gadis ini. Ia tidak akan pernah membayangkan apa yang akan terjadi pada dirinya.
===>>
Semua pelajaran usai, setelah jam menunjukkan pukul empat sore. Sungguh menakjubkan, pelajaran yang diajarkan benar2 diluar dugaan, semuanya lebih sulit dibanding pelajaran yang ia terima disekolah yang lama. Butuh waktu lebih baginya untuk mengerti akan penjelasan guru. Hari pertama disekolah baru, sungguh melelahkan. Tunggu, masalah baru timbul. Sekarang waktunya pulang, tapi ia tidak tahu jalan ke rumahnya. Bagaimana ini? Mau menghubungi Hongo, bodohnya ia tidak punya nomor handphone orang tua itu.
“ Haahh, bodoh! Kenapa tadi aku tidak menanyakan nomor hp nya?? Ahh..” batinnya sambil memukul kepala sendiri. Teman-temannya sudah pulang dengan kendaraan pribadi masing-masing. Sungguh menakjubkan, mereka semuanya berasal dari golongan atas. Mobil yang dipakai pun bermerek. Gadis itu hanya bisa menggelengkan kepalanya. Merasa lelah berdiri, ia mencari tempat yang nyaman untuk duduk. Berharap ada yang berbaik hati untuk menunjukkan jalan pulang, atau setidaknya memberikan arah padanya . Lama ia melamun, seakan lupa tujuan awalnya tadi, mencari orang yang mau berbaik hati untuk ditanyai jalan pulang. Matanya memandang kosong pada pemandangan yang ada di depannya, pemandangan yang sangat langka. Sebuah gedung sekolah yang tinggi, dikelilingi taman bunga dengan berbagai macam jenis. Bunga-bunga itu terawat dengan sangat baik, karena sekolah ini memili tukang kebun puluhan orang. Perlu diketahui, tukang kebun nya saja harus memakai jas sebagai seragamnya, menandakan dia adalah pekerja di Hiroshi Gakuen ini. Bagaimana dengan cleaning servicenya? Tidak jauh beda dengan tukang kebun, bedanya Cuma warna jasnya.
Gadis itu teringat akan sekolah lamanya, sampah berserakan dimana-mana, murid-murid yang berada disana umumnya nakal, seragam jarang yang digunakan dengan rapi. Berbeda sekali dengan sekolah ini. Perbedaannya bagai langit dan bumi, atau bisa juga antara air dan minyak? Atau gula dengan garam? Entahlah, siapa yang peduli dengan hal itu. Sekarang kita sedang membiccarakan hal lain, bukan masak-memasak.
“ Permisi..” kata seseorang dengan suara besar dari belakang. Denata terbangun dari lamunannya, lalu melirik ke arah sumber suara.
Dia bisa melihat seseorang dengan wajah yang tidak bisa dibilang biasa. Lalu apa? Tampan? Bukan, lebih dari itu, sangat tampan. Dengan rambut yang di beri belahan tepi dan berwarna kecoklatan, dia tersenyum ramah pada Denata.
Denata tidak mengucapkan apa-apa, ia canggung untuk berbicara dengan laki-laki.
“ bisakah kau mundur sedikit?” katanya lemah lembut, tapi tersirat keceriaan dimatanya. Ia tersenyum lagi. “ Aku mau membuka kunci sepeda ku..”
Denata tersadar kalau ia berada di dekat parkiran kendaraan. Dibelakangnya ada sebuah sepeda bermerek. Ia segera beranjak dari tempat itu, tanpa melihat pada si pemilik sepeda.
Pemuda itu segera membuka kunci sepedanya, lalu bersiap mengendarainya. Sementara itu, Denata masih bingung bagaimana pulang, timbul pikirannya untuk bertanya, tapi ia terlalu takut, atau bisa dibilang nervous?
“ Hanami-san.” Panggil pemuda itu ketika ia akan mengayuh sepedanya. Denata melirik lagi sipemilik sepeda. Masih belum mengatakan apa-apa.
“ Aku punya nomor telp Hongo jii-san..” katanya lagi. Hah? Kenapa dia tahu? . “ Kau membutuhkannya, bukan?”
Berusaha menguasai diri karena keterkejutannya, ia masih terdiam. Lalu mengangguk.
“ 08********”. Kata pemuda itu, dan Denata bisa mengingat tanpa harus mencatatnya terlebih dahulu. Ih wow, ingatan yang bagus Denataaaaaa!
“ T-terima kasih.” Itulah satu-satunya kata yang bisa di ucapkan Denata pada si pemuda. Pemuda itu mengangguk lagi, sambil tersenyum. “ Oh ya, aku Yamada Ryosuke. Salam kenal.” Ucapnya, lalu melesat pergi dengan kecepatan sepeda super tinggi.
Yamada Ryosuke. Yamada Ryosuke. Rasanya ia pernah mendengar nama itu. Tapi dimana? Ah Sudahlah, ia tidak perlu memikirkan hal itu. Dia pun segera menghubungi Hongo, dan menanyakan jalan pulang.
“ Jii-san, jalan pulangnya kemana?” tanyanya, sopan.
“ Nona sudah pulang? Baiklah, akan saya jemput.” Jawabnya lebih sopan lagi.
“ T-tidak usah Jii-san. Aku bisa pulang sendiri. Tunjukkan saja kemana arahnya.”
“ T-tapi..”
“ Jii-san, aku tidak mau seperti mereka yang ada disini. Terlalu manja.” Katanya datar, yang cukup membuat Hongo tegang.
“ B-baiklah.” Jawab kakek itu mengalah, lalu memberikan pentunjuk kemana arah rumah ayah dan ibunya.
“ Terima kasih, jii-san.” Ucapnya, lalu menutup telfon. Ia berniat untuk berjalan saja, karena ia sama sekali tidak punya kendaraan. Kalau di hitung dengan waktu, butuh 45 menit baginya untuk sampai di tujuan.
==>>
“ Tadaima..” ucap gadis itu sesampai dirumah. Ia bersikap seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Ia ingin istirahat, merebahkan badan di kamarnya, dan menikmati musik kesukaannya.
“ Okkaeri..” jawab ayah dan ibunya bersamaan. Mereka sedang membersihkan kedai mie ramen yang baru saja mereka tutup.
Denata belum ada minat untuk bertanya pada orang tuanya, dia akan mencari waktu yang tepat, tapi bukan sekarang.
Ketika dia sampai didepan pintu kamar, perkataan ayahnya langsung menyurutkan niatnya.
“ Maafkan ayah, kalau selama ini ayah tidak menceritakan yang sebenarnya padamu.” Ujarnya, dengan nada bersalah.
Denata menarik nafas panjang. “ kenapa kakek tidak pernah mengunjungi kita?” tanyanya tiba-tiba.
Ayah Denata tersentak kaget. Tidak tahu harus manjawab apa.
“ Aku sudah tahu, kalau ayah kabur dari rumah demi ibu. Jadi ayah tenang saja, aku tidak akan marah. Kenekatan ayah itu telah membuat aku ada di dunia ini.” Ucapnya tanpa memandang pada ayahnya. Ia ingin jujur, kalau ia sangat bangga dengan tindakan ayahnya yang berani meninggalkan kemewahan demi ibunya. Bahkan seorang ayah yang berasal dari keluarga terpandang itu selalu mengajarkannya untuk hidup sederhana. Ayahnya benar-benar keren.
Ayaa Denata tersenyum, tidak terasa kalau air bening telah mengalir dari matanya. Ia segera menghapusnya, takut ketahuan oleh istri dan anak tersayangnya itu.
“ Aku masuk ke kamar dulu, yah..” kata Denata minta izin pada ayahnya. Ia membuka pintu kamar, lalu menutupnya kembali. Segera merebahkan diri di tempat tidur berwarna putih itu, sambil memandang langit-langit kamar. Sementara itu diluar kamar,
“ Benar-benar mirip denganmu, ya...” ujar ibu Denata pada suaminya. Dari tadi ia mendengar percakapan ayah dan anak itu.
“ T-tentu saja. Dia kan anakku..” jawab ayah Denata, tersenyum. “ Aku akan selalu percaya dengannya. Dia tidak akan mengecewakanku..”.
=>>
“ Dena-chan.. ayo makan..” teriak ibunya dari dapur. Rumah kecil itu tidak menghalangi pendengaran Denata untuk bisa mendengar ibunya berteriak. Ia segera beranjak dari tempat tidur dan meletakkan buku Sosiologi yang dia baca. Baru saja ia akan membuka buku pelajaran, berpikir kalau ia tidak boleh ketinggalan dari teman-temannya di sekolah baru itu. Biasanya ia tidak pernah belajar kalau bukan karena ujian. Tapi melihat tingkat kesulitan pelajaran yang dia terima, kebiasaan buruk itu harus ia tinggalkan.
Pintu kamar berderit lembut. Sang gadis bisa melihat ayahnya sedang menonton tv sambil memegang remote. Denata berjalan menuju dapur, membantu ibunya menyiapkan makanan ke meja makan kecil itu.
“ Mari kita sambut, anggota Hey! Say! Jump!.. “ itulah suara yang berasal dari tv yang ada di ruang tamu. Denata tidak tertarik dengan acara seperti itu. Acara wawancara orang-orang terkenal yang selalu disiarkan langsung lewat chanel 7.
Setelah selesai menghidangkan makanan, Denata duduk disamping ayahnya. Sedangkan ibunya duduk diseberangnya.
“ Wah wah, padahal mereka masih muda, tapi sudah terkenal seperti ini. Hebat hebat..” komentar ayahnya, matanya masih tertuju pada tv.
“ ayah, makan dulu...” balas Denata, tidak mengindahkan kata-kata ayahnya.
Ayah Denata tidak mendengarkan anaknya, tetap saja terpaku pada acara televisi itu. Denata segera merebut remote ditangan ayahnya, dan mengarahkan remote itu ke televisi. Tapi..
Matanya membulat. Ia seperti tersengat listrik berjuta-juta volt setelah melihat siapa yang ada di televisi itu sekarang. Ia terdiam sejenak.
“ Yamada-san, bagaimana anda bisa membagi waktu antara sekolah dan karier?” tanya seorang presenter cantik pada pemuda yang ada di hadapannya.
Ia baru sadar, ia pernah mendengar nama Yamada Ryosuke ditelevisi, sayangnya dia tidak pernah memperhatikan wajahnya, karena itulah saat dia bertemu tadi sore, dia tidak tahu kalau itulah yang Yamada Ryosuke. Tunggu, disitu juga ada anak yang berhasil menjawab soal universitas tadi. Wajahnya sangat imut, badannya pun kelihatan paling kecil diantara pemuda-pemuda yang ada disitu. “chinen”. Batinnya dalam hati.
“ ayah, bukankah Hey!Say!Jump! itu sebuah boy band?” tanya Denata memastikan.
Si ayah melirik. “ Iya, mereka semua adalah anggota boy band terkenal itu. Kalau tidak salah, mereka seumuran denganmu.”
‘Ternyata, benar kata Hongo-jii-san kalau sekolah itu adalah sekolah orang kaya dan para artis terkenal.’ Pikirnya.
Acara makan malam hari ini ditemani oleh wawancara boyband itu. Berbagai macam pertanyaan di lontarkan kepada mereka masing-masing, tapi dengan lihai mereka menjawabnya. Itulah pekerjaan artis, harus menjaga image agar tidak terlihat memalukan di depan para fansnya.
“ Ayah..” panggil denata setelah menyelesaikan semua bekas piring kotor di meja makan.
“ Hm?” gumam ayahnya, dengan mata tertuju pada tv. Belum bosan ternyata si ayah ini.
“ kakek itu orangnya seperti apa?” tanya Denata, kembali mengejutkan ayahnya.
Ayah menarik nafas panjang.
“ sebenarnya, kakekmu adalah orang yang sangat baik. Dia bisa berhasil seperti itu karena tekatnya yang tidak pernah menyerah. Asal kau tahu, dia memulai usaha dari bawah. Ssampai akhirnya, dia menjadi orang yang berhasil dan disegani. Tapi,,” cerita ayahnya terhenti saat ibunya datang dan duduk bersama mereka.
“ Tapi?” tanya Denata, penasaran.
“ Ahhh,, aku ngefans sekali dengan Yamadaaaaa...” sambung ayahnya, walaupun sebenarnya tidak nyambung. Ia tertawa cekikikan, lalu segera melihat pada televisi. Melihat sikap ayahnya yg berubah seketika saat ibunya datang, Denata paham kalau ada yang tidak boleh diketahui oleh ibunya.
“ Ya sudah kalau begitu, aku mau belajar dulu yah, bu.” Ujar gadis itu minta izin. Ia beranjak dari tempatnya, dan masuk lagi kekamar.
Setelah memastikan Denata tidak akan mendengar percakapan mereka, suami istri itu berbincang-bincang.
“ Apa tidak apa-apa kita membiarkan Denata sekolah disana, yah?” tanya si Ibu agak khawatir.
“ Tenang saja, bu. Kakek Denata adalah orang yang memikirkan segala sesuatunya dengan matang. Lagipula, aku ingin menebus kesalahan pada ayah, karena sudah mengabaikan permintaannya dulu.” Jawab si ayah, memperlihatkan wajah bersalahnya.
Ibu mengangguk, ia akan selalu mendukung keputusan suaminya, karena suaminya adalah orang yang sangat bijaksana dalam menyelesaikan semua masalah.
=>>>
Hari ini Denata kembali menolak tawaran dari Hongo untuk mengantarnya ke sekolah. Ia sudah terbiasa pergi sekolah jalan kaki, lagipula hidup manja seperti itu hanya akan membuatnya jadi orang tidak berguna. Ia sangat membenci orang manja. Sangat benci.
Jalan kaki menurutnya menimbulkan banyak manfaat. Selain manfaat untuk kesehatan dirinya sendiri, juga ada manfaat untuk lingkungannya. Betapa tidak, berjuta-juta mol gas karbon dioksida dari kendaraan akan membolongi ozon yang jelas-jelas menlindungi bumi ini dari panas matahari langsung yang mengandung sinar ultraviolet. Sudahlah, Denata memang orang seperti itu. Meskipun kelihatan cuek, sebenarnya dia sangat peduli dengan lingkungan. Walaupun kepeduliannya itu belum terlihat manfaatnya terhadap bumi.
Berjalan empat puluh lima menit cukup membuatnya lelah. Biasanya dia Cuma butuh waktu lima belas menit, tapi sekarang tenaganya diminta lebih banyak untuk menempuh jarak yang lebih jauh. ‘Ya sudahlah, demi lingkungan.’ Batinnya. Terkadang kepedulian kita terhadap sesuatu bisa membuat sengsara diri sendiri.
“kring kring..’ bunyi sepeda dari belakang. Denata bisa mendengar suara itu bukan karena dia yang berjalan di jalur yang salah, jelas dia berada di trotoar. Bunyi itu pasti untuk menyapa seseorang. Denata membalikkan badan, melihat siapa yang telah menyapanya. Padahal didaerah itu, tidak ada yang dia kenal. Disana kompleks orang kaya, siapa pula yang akan kenal dengan orang biasa seperti dia?
Sekali lagi, listrik berjuta-juta volt yang semalam menyerangnya saat melihat anggota Hey say Jump kembali hadir tanpa di undang. Tubuhnya tidak bisa bergerak, sehingga ia menghentikan langkahnya. Bisa dilihat dengan jelas, ada Yamada Ryosuke dan Chinen Yuri, serta dua orang temannya lagi yang semalam juga hadir di wawancara. Kalau tidak salah nama dua orang lagi adalah Nakajima Yuto dan Arioka daiki. Mereka semua mengendarai sepeda, dengan berbagai macam bentuk dan merek. Senyum ramah menghiasi bibir mereka saat melihat cucu pengusaha paling kaya di tokyo ini memperhatikan mereka. Mereka semua berhenti di depan Denata lalu menyapanya.
“ Hanami-san, jalan kaki?” tanya Chinen, tersenyum. Kalau saja anda bisa melihat wajah imutnya ketika tersenyum, pasti anda akan teriak-teriak gaje. Denata yang masih terpaku segera sadar, ia mengangguk.
“ Wah, jarang sekali ada gadis kaya yang mau jalan kaki.” Ucap Yuuto, menambahkan. “ Oh iya, perkenalkan. Aku Nakajima Yuuto. Salam kenal, nona..” lanjutnya sambil membungkukkan badan.
Denata membalas membungkukkan kepala. “ Hanami Denata.” Katanya.
“ Tentu saja Yutoo. Kau kan tahu sendiri kalau kakek Nona ini adalah pengusaha paling ramah dan dermawan. Pasti sifatnya itu menurun pada cucunya.” Daiki ikut menimpali. “ Dan aku Arioka Daiki, nona..” katanya, dan melakukan hal yang sama dengan Yuto tadi.
“ Hai’..” jawab Denata singkat. Sementara itu, Ryosuke tidak mengatakan apa-apa. Ia terlihat seperti orang lelah. Matanya sayu, seakan menahan rasa kantuk yang berat.
“ Apa nona butuh tumpangan??” tawar Daiki, menggoda.
“ T-tidak, terima kasih. Kalian duluan saja..” gugup menghadapi orang terkenal seperti mereka, hal yang wajar tentunya.
Mereka kembali membungkuk, memohon diri.
“T-tunggu..” panggil denata setengah berteriak. Mereka berempat menengok kebelakang setelah mendengar suara nona muda itu.
“ Jangan panggil aku dengan sebutan ‘nona’.” Pintanya sambil memandang datar pada mereka. “ Nama saja cukup..”
Mereka berempat saling pandang. Baru kali ini ada seorang gadis kaya tidak mau dipanggil nona. Setau mereka, teman-teman sekelas yang tingkat latar belakang keluarganya paling tinggi, wajib dipanggil dengan sebutan nona. Bukan wajib sebenarnya, tapi mereka sendiri yang membuat peraturan. Salah satunya adalah Nisiuchi Mariya, seorang gadis yang berasal dari kalangan paling atas.
Mereka semua tersenyum. “ Tentu saja, Hanami-san..” jawab mereka bersamaan, lalu bergerak menjauh dari Denata.
Saat sampai di parkiran sepeda, “ Oi, kalian merasa tidak ada yang beda dengan nona muda itu?” tanya Daiki tiba-tiba.
“ Maksudmu, Hanami Denata?” tanya Ryosuke memperjelas.
“ siapa lagi, bodoh!” Kata daiki tersenyum pada Ryosuke.
“ Jangan bilang bodoh padaku bodoh! Dasar bodoh!” balas Ryosuke membalas kata-kata jahil daiki.
“ Hei, diantara orang bodoh dilarang saling mendahuluii. Kalian tahu itu?” si jangkung Yuto ikut2an menimpali lelucon mereka.
“ Apaaaa!” teriak daiki dan Ryosuke bersamaan. Mereka bersiap-siap memberi pelajara pada Yuto yang dikenal paling jahil diantara mereka. Tangan masing-masing sudah bersiap memberi satu jitakan peringatan,namun Chinen segera menghentikan.
“ Oi oi, kalian itu anak TK atau SMA? Dari dulu tidak pernah berubah. Ayo masuk, sebentar lagi bel.” Perintah Chinen pada teman-temannya. Walaupun punya tubuh paling kecil, tapi dialah yang paling dewasa, dan paling pintar diantara mereka. Dia bukan tipe orang yang aktif berbicara, sehingga sering disebut pendiam. Walaupun begitu, tetap saja dia orang yang ramah.
“ Haiii..” jawab mereka hampir bersaman.
Saat berjalan menuju kelas, Ryosuke lagi-lagi membuka pembicaraan.
“ Tentang nona muda itu, apanya yang aneh?”
Daiki menjawab.” Kenapa dia jalan kaki ke sekolah? “
“ Memangnya itu aneh?” tanya Yuto bingung.
“ tentu saja aneh. Kau sendiri kan tahu kalau gadis kelas atas selalu berusaha menjaga tubuh mereka. Jalan kaki sama saja membahayakan kesehatan kulitttt.. itu yang aku dengar dari kakakku.” Jelas Daiki, mengingat kata-kata kakaknya yang sangat memperhatikan kecantikan.
“ Lagipula, dari seragam yang digunakannya kemarin, jelas dia berasal dari sekolah bawah.” Tambah Daiki lagi, memastikan.
“ Hmmm.. Aku sempat mendengar dari paman Hongo, kalau terjadi sesuatu di keluarga Hanami. Itu terjadi tujuh belas tahun yang lalu.” Jawab Ryosuke, masih berusaha menahan kantuk.
“ Hongo-jii-san? Paman jauh mu itu?” tanya daiki memastikan. Ia kenal dengan Ryosuke sejak kecil,tentu saja ia juga kenal dengan paman yang humoris itu.
Ryosuke mengangguk. Tiba-tiba ia sadar akan sesuatu. ‘gawat, kenapa aku kelepasan bicaraa’, batinnya. Ia sudah janji pada Hongo untuk tidak memberitahukan apa-apa tentang Denata pada orang lain. Sebelum denata masuk kelas, Hongo sudah memberitahukan pada Ryosuke untuk memperhatikan setiap tindakan gadis itu. Mau tidak mau, Hongo terpaksa menceritakan seluk beluk keluarga Hanami pada ryosuke. Kejadian Ryosuke yang kemarin memberikan nomor hp Hongo bukan terjadi secara kebetulan. Itu karena Ryosuke tahu kalau Denata tidak tahu jalan pulang, bersikap seoalh-olah itu suatu kebetulan agar Denata tidak menyadari kalau dia memperhatikan denata sejak pulang sekolah kemarin. Ini adalah amanat dari pamannya, paman yang sejak dulu sangat baik padanya, walaupun saudara jauh, nama keluarga pun sudah berbeda.
“ A-apa?? Benarkah itu?” tanya daiki dan Yuto bersamaan, sementara itu Chinen sibuk dengan laptopnya. “ Kau tau darimana???”
“ A-aku juga tidak tahu itu benar atau tidak. Aku hanya mendengar gosip tidak jelas atau mungkin hanya omong kosong dari orang yang iri dengan Hanami-sama.. hahahaha” jawab Ryosuke spontan. Ia tertawa dibuat-buat, agar teman-temannya percaya kalau ia hanya mendengar gosip murahan.
“ Haaahhh... dasarrr bodoh..” kata daiki lagi sambil meletakkan tasnya dan duduk dimeja Ryosuke.
Ryosuke hanya tertawa, lalu mengalihkan perhatian pada laptop yang ada didepannya. ‘hampir saja’. Gumamnya pelan.
Murid – murid dikelas itu sibuk dengan urusan masing-masing. Ada yang menggosip dengan temannya (khusus para wanita), ada yang bermain game, ada yang belajar dari laptopnya (sejauh ini, hanya Chinen yang melakukan hal itu), ada yang mengobrol tidak jelas sambil tertawa terbahak-bahak, dan lain-lain. Sikap mereka tidak jauh berbeda dengan sikap remaja lain, hanya berlebih dibidang ekonomi.
Denata sampai di pintu masuk. Ia memperhatikan sekeliling, tampaknya tidak ada yang melihatnya. ‘Mereka terlalu sibuk dengan urusan masing-masing. Baguslah.’ Batinnya. Ia menuju bangku paling belakang, tempat duduknya kemarin.
“ eitsss, kau tidak boleh duduk disini.” Ucap seorang gadis manis berkepang dua. Denata memandang heran padanya, lalu mengalihkan matanya ke arah seragam gadis itu untuk mengetahui siapa namanya. ‘ Horikita Maki’. Itulah yang tertulis di seragam gadis itu.
“ Kenapa?” tanya Denata datar, seolah hal itu tidak memberatkannya. Padahal dia sudah kelelahan karena berjalan sejauh itu, tapi tiba-tiba orang tidak dikenal menghalangi rencananya untuk istirahat.
Datang lagi seorang gadis cantik. Dia mendekati mereka berdua. “ Karena aku yang akan duduk disini.” Katanya. Siapakah dia? Si gadis yang paling terkenal di Hiroshi karena kepintarannya, kecantikannya, juga latar belakang keluarganya. Nishiuchi Mariya. Dia berjalan angkuh, dengan tinggi yang semampai, kelihatan anggun sekali saat berjalan.
Otomatis semua yang ada dikelas melihat pada mereka. Perintah Mariya harus dituruti, karena dia yang paling berkuasa. Sungguh primitif.
“ Bukankah Tsurara-sensei kemarin menyuruhku duduk disini?” jawab denata lagi, masih tenang. Tidak kelihatan wajah takutnya sama sekali.
“ Jadi kau mau melawan perintah Nona Mariya?” bentak Maki sambil mendekati denata. Bentuk gerakan seperti itu adalah tindakan untuk menekan musuh agar mereka takut dan gentar sehingga tidak mau melawan. Mariya tersenyum sinis, merasa menang dari gadis itu.
Denata diam sejenak, memandang tajam pada Maki. Ia menarik nafas panjang, lalu tersenyum. Bukan, ini bukan senyuman untuk bersikap ramah pada mereka berdua, tapi senyuman menyindir.
“ Kalau aku melawan?” katanya, menantang. Ia sebenarnya tidak ingin berurusan dengan mereka, tapi karena Maki telah memancingnya, terpaksa dia meladeni kedua orang itu. Dia tidak suka dibentak, apalagi orang yang belum dia kenal.
“ A-apa?” sekali lagi, maki membentak denata. Mariya turun tangan. “ Minggir,” perintahnya pada Maki, sehingga Maki menjauh dari Denata. Sekarang giliran siempunya setan yang datang. Bagaimana dengan nasib Denata selanjutnya??? Teman-teman sekelasnya sudah merasakan ketegangan, karena setau mereka, siapapun yang pernah melawan Mariya, berakhir dengan dikeluarkan dari sekolah.
Mereka bertatapan saling menantang. Tiba-tiba, “plaaakkk”.
Sebuah tamparan mendarat dipipi kiri Denata. “ Huaaaa” teriak murid-murid disana serentak. Ryosuke dan teman-temannya kaget bukan main. Lagi, keangkuhan Mariya bisa mengalahkan semua nya. Bukannya mereka tidak peduli, tapi mereka terlalu takut mengambil resiko untuk membantu denata. Seharusnya mereka mengatakan lebih awal kalau Denata tidak boleh macam-macam dengan Mariya. Tapi nasi sudah menjadi bubur, mereka tidak tahu kalau hal ini akan terjadi lebih cepat dari dugaan mereka. Ryosuke masih menunjukkan sikap tenang, ia berjalan mendekati kedua gadis itu. Ia berharap rayuannya terhadap Mariya kali ini bisa manjur. Namun sebelum dia sampai ditempat tujuan, kata-kata Denata menghentikan langkahnya.
“ Jadi seperti ini kelakuan orang kaya?” sindirnya sinis. Sekali lagi, para penonton ber’oh’ ria. Benarkah itu yang di ucapkan Denata? Kalau benar, Denata sudah mempersiapkan kuburannya sendiri. Melawan Mariya, sama saja dengan memilih keluar dari sekolah.
Mariya makin geram. Wajah cantiknya memerah, berusaha menahan amarahnya. Ia seakan ingin menjambak rambut gadis yang sudah jelas menghinanya itu. Tangannya kembali melayang, tapi..
“ lagi? Wah wah, aku baru tau kalau orang kaya itu berkelakuan seperti orang tidak berpendidikan.” Ucap denata sambil menahan tangan Mariya, pandangan sinisnya bagai mata setan. Mariya tidak berkutik, dia berusaha melepaskan tangannya, tapi denata jauh lebih kuat.
“ Lepaskan!” bentak Mariya, tapi tetap saja ia tidak mampu melepaskan tangannya dari cengkraman Denata.
“ Ingat ini, nona. Sekaya apapun kau, kalau sikap mu seperti ini, kau tidak lebih dari seorang gelandangan. Sebaiknya kau memperbaiki sikap mu itu.” Kata-kata denata sungguh menusuk. Tidak ada yang berani berkomentar, mereka terlalu takjub dengan keberanian Denata melawan gadis sombong itu.
Denata melepaskan cengkramannya dari gadis itu dengan kasar, lalu merapikan bajunya yang agak berantakan. Setelah itu, dia berjalan keluar kelas bermaksud untuk mencari toilet. Tamparan Mariya cukup membuatnya pusing. Mungkin sekarang di pipinya ada bekas merah karena tamparan itu.
Mariya berteriak marah ketika denata membelakanginya. “ Kau akan terima akibatnya. Tunggu saja pembalasanku.”
Para penonton bergidik. Mereka tahu apa yang akan di lakukan oleh Mariya kalau gadis itu sudah marah. Mereka lebih memilih diam dan berpura-pura tidak melihat kejadian itu.
Si pemuda yang dari tadi merasa khawatir, segera keluar kelas dan mengejar Denata.
“ Hanami-san!” panggilnya setengah berteriak ketika ia melihat Denata sedang berjalan di koridor sekolah menuju toilet.
Denata melirik ke arah sumber suara. Ia berhenti.
“ Kau tidak apa-apa?” tanya Ryosuke, lembut.
“ Jangan bersikap seperti kau benar-benar peduli!” bentak Denata. Ia masih tersulut emosi.
Ryosuke terdiam mendengar bentakan Denata. Wah, baru kali ini dia dibentak seorang gadis.
“ t-tapi..” ucapnya, tapi langsung di hentikan oleh Denata.
“ Kalian orang kaya sama saja. Selalu merasa harta bisa membeli segalanya. Dan kau, salah satu jenis orang tersebut. Kau lebih memilih diam karena takut gadis itu memberikan sesuatu yang tidak baik terhadap mu. Hah. Karena itulah aku sangat benci dengan orang kaya. Orang kaya sepertimu! Mementingkan diri sendiri walaupun orang lain sedang kesusahan.” Kata Denata marah. Kenapa ia malah melampiaskan kemarahannya pada Ryosuke? Padahal pemuda itu sungguh peduli dengannya, karena gadis ini adalah amanat dari pamannya.
“ Aku lebih baik tidak punya teman, dibanding harus berteman dengan orang-orang seperti kalian!” katanya lagi, masih meluap-luap. Denata berlari ke arah toilet. Pintu toilet dihempaskannya, saking marahnya..
Ryosuke hanya bisa terdiam, berdiri terpaku di tempatnya tadi.
“ waahh, kasian sekali..” kata seseorang dari belakang. Daiki, Yuto, dan Chinen mendengar semua kata-kata denata barusan kepada Ryosuke. Mereka bertiga mendekati Ryosuke.
“ Woi, kau tidak apa-apa?” tanya Yuto sambil melingkarkan tangannya pada bahu sahabatnya itu.
“ Ryosuke?” tanya Chinen, mencoba memanggil Ryosuke yang tidak merespon panggilan mereka.
“ Menarik juga..” ucap Ryosuke kemudian, sambil tersenyum...
Tidak ada yang tahu arti senyumannya itu, selain Ryosuke dan Tuhan tentunya..
==>>
Sungguh menyebalkan hari ini. Dia tidak pernah menyangka akan sesial ini. Sebenarnya kalau dia tidak bisa menahan emosi, mungkin pelaku yang sudah membuat wajahnya memerah sekarang sudah masuk rumah sakit . Asal tau saja, karena dia yang rutin olahraga ditambah lagi sering membantu orang tuanya di warung sehingga tenaganya setiap hari terkuras, membuat dia mempunyai kekuatan lebih besar dibanding gadis seumuran meskipun dengan badannya yang kecil, tidak lebih dari 155 cm. Sejak pulang sekolah tadi, dia cemberut. Tidak berminat untuk berbicara apapun. Sampai di rumah, ayah dan ibunya menyadari keanehan sikap putri mereka. Tentu saja ayah yang perhatian seperti itu langsung bertanya,
“ Kau kenapa, nak?” tanyanya, sambil membersihkan peralatan untuk membuat mie ramen.
“ Maaf kalau aku akan menyebabkan masalah disekolah yang baru.” Katanya, spontan. Denata tidak akan menyembunyikan apapun pada orang tuanya, karena dia adalah orang yang jujur. Mungkin terlalu jujur.
“ M-masalah?” si ayah mengernyitkan kening.
“ Aku sudah menghina teman sekelasku. Dia orang kaya. Dan jika dibandingkan dengan kita, mungkin kita tidak ada apa-apanya.” Jawab Denata. Maksud gadis ini, jika dibandingkan dengan kehidupan ayah dan ibunya sekarang, bukan dengan kakeknya.
Ayah dan ibunya bukan main terkejutnya. “ A-apa? Kenapa kau melakukan hal itu?” tanya ayahnya setengah berteriak.
“ Ayahh”. Kata ibu menenangkan suaminya. Dia menggeleng-geleng, menandakan kalau suaminya tidak boleh marah. “ Pasti Dena punya alasan.”
Denata diam saja. Timbul rasa bersalah dihatinya. Wajahnya yang tadi cemberut, sekrang berubah murung.
“ Apa alasanmu?” tanya si ayah lagi, mulai melembut.
Denata menarik nafas. “ Dia menamparku, yah. Bersikap seperti orang paling berkuasa. Padahal aku tidak melakukan sesuatu yang merugikan dia.”
Mereka yang ada disitu terdiam sejenak. Lalu tiba-tiba, “hahahhahahah... bagus bagus.. hahahahaha”. Membuncahlah tawa si ayah. Beberapa selang waktu kemudian,
“ Ayah, kenapa tertawa??” tanya Denata tidak mengerti. Apa ayahnya sudah gila???
“ Tentu saja ayah tertawa. Anak ayah memang pemberani. Hahaha”
“ tapi kalau dia memberikan masalah padaku? Misalnya, aku dikeluarkan dari sekolah?”
“ Nak, ayah lebih memilih sikapmu seperti itu daripada kau diinjak-injak oleh orang kaya. Tidak seharusnya dia bersikap seperti itu. Sekali-sekali dia harus diberi pelajaran agar sadar kalau tindakannya salah.” Celetuk ayahnya, tersenyum bangga. Benar-benar anak dan ayah. Ckckkc
Si ibu hanya bisa tersenyum. ‘dasar aneh..’ bisiknya dalam hati.
“ Ooh iya ayah, aku lupa memberitahukan kalau beberapa anggota Hey!Say!Jump! satu kelas denganku.” Kata Denata cuek, ketika dia membersihkan peralatan makan. Tampaknya, sekelas dengan orang2 terkenal itu tidak lagi membuat si gadis takjub. Setelah melihat sikap mereka tadi pagi, yang begitu takut pada Mariya sehingga membiarkan orang yang tidak bersalah di aniaya didepan mereka begitu saja.
Telinga si ayah langsung berdiri. Dia adalah penggemar boy band itu. Sungguh. Dunia ini sudah terbalik. Seharusnya si gadis lah yang menyukai mereka. Tapi yang terjadi? Ayahnya adalah penggemar berat boyband yang terdiri dari pemuda-pemuda keren itu. Keluarga yang aneh.
“ Benarkah????” tanya si ayah antusias.
Denata mengangguk. “ Daiki, Yuto, Chinen, dan juga..” Denata seakan melupakan sesuatu yang sangat penting. Tunggu dulu, kalau di ingat lagi kejadian tadi pagi, setelah dia menghina si nona sombong itu, lalu dia keluar kelas, kemudian di koridor ada yang memanggilnya, kemudian..
“ Astaga!” ucapnya tiba-tiba, seakan baru ingat akan sesuatu.
“ K-kenapa Dena?” tanya ayahnya.
“ A-ayah.. bukan satu orang saja yang aku hina. Tapi dua orang..” jawabnya, sangat sangat jujur.
“ M-maksudmu?”
“ Aku tidak bisa lagi mengendalikan emosi. Sampai-sampai, yamada-san juga aku marahii...” jelasnya.
Si Ayah dan ibu menggelengkan kepala. Ternyata anak ini belum berubah juga. Emosinya meluap-luap hingga lupa pada siapa yang salah dan siapa yang tidak salah. Aduh aduh.
==>>
“ Yama-chan! Kau lama sekali ..” panggil Chinen setengah berteriak dari dalam mobil milik agency Jhonny’s Entertainment. Sudah lima belas menit sejak Ryosuke permisi ke toilet sebelum berangkat ke tempat konser mereka, tapi dia belum menampakkan batang hidungnya. Tiga temannya yang lain sudah hampir bosan menunggu si berisik itu.
“ Hei chinen, kau pergilah melihat dia. “ suruh Yuto pada sahabatnya itu. “ Kalau saja dia berlama-lama karena dandan, kau berikan saja tendangan salto-mu itu.”
Chinen dan daiki tertawa. “ Hahaha, baiklah..” jawab Chinen, lalu keluar dari mobil. Ketika masuk kerumah, Chinen langsung berteriak.
“ Yama-chaann!”
Yuto dan Daiki tahu ada yang tidak beres, lalu mereka berdua menyusul Chinen ke dalam rumah.
Kelihatan pemandangan yang tidak wajar. Ryosuke tergeletak di depan pintu toilet, tidak sadarkan diri. Lantas mereka bertiga memeriksa tubuh Ryosuke, jika ada yang salah.
“ Panas sekali badannya,” kata Daiki dengan nada khawatir setelah dia merasa kening Ryosuke.
Tanpa berpikir panjang lagi, mereka bertiga segera membopong pemuda itu kedalam mobil.
“ Yanabe-san. Konser kali ini lebih baik dibatalkan. Ryosuke pingsan, badannya panas sekali.” Ucap Chinen cemas. Bagaimana tidak? Sahabatnya itu jarang sekali sakit sampai segini parahnya.
“ Tapi..” jawab manager mereka ragu-ragu.
“ Cepatlah! Ryosuke lebih penting daripada konser itu!” bentak Daiki dan Yuto bersamaan. Yanabe mengangguk, lalu menghidupkan mesin mobilnya. Ia mengendarai mobil ke rumah sakit terdekat. Tampak wajah khawatir mereka bertiga , sampai-sampai tidak ada yang berbicara saat jalan kerumah sakit. Apa yang terjadi dengan Ryosuke? Padalah tadi dia baik-baik saja. Masih tersenyum seperti biasa, masih berisik.
Sesampainya di rumah sakit, para petugas langsung membawa pemuda yang tidak sadarkan diri itu keruang periksa.
####
“ Bagaimana keadaan Ryosuke, Dokter?” tanya Daiki pada dokter yang memeriksa Ryosuke setelah dia keluar dari ruangan.
Si Dokter meletakkan lagi stateskop yang ada di lehernya kedalam saku, lalu membenarkan letak kacamatanya. “ Yamada-san telalu lelah. Mungkin karena aktifitas yang padat, sehingga dia kurang istirahat.” Jelas dokter itu.
Kali ini Chinen yang bertanya, “ apa dia akan baik-baik saa, dokter?”
“ Chinen-san tidak perlu khawatir. Yamada-san hanya butuh istirahat yang cukup. Untuk sementara waktu, biarkan dulu dia di rumah sakit ini sampai diagnosa selanjutnya. Panasnya terlalu tinggi, bahaya kalau dia dirawat para awam.”
Chinen mengangguk, tanda mengerti.
“ Kalau begitu, kami boleh masuk?” tanya Yuto. Ia sudah tidak sabar melihat sahabatnya itu. Sahabat yang paling sering ia jahili.
“ Tentu saja boleh. Kalau begitu, saya permisi.” Kata Dokter itu sambil membungkukkan badan mohon diri. Mereka semua membalas bungkukan itu, lalu melesat dengan cepat kedalamm kamar. Ternyata Ryosuke sudah tersadar dari pingsannya, dia sedang melamun melihat ke arah jendela.
“ Oiii...” panggil Daiki, ngos-ngosan.
Ryosuke melirik ke arah sumber suara. Terlihat 3 sahabatnya sedang berusaha mengatur nafas yang tadi berantakan karena berlarian masuk kamar.
“ K-kalian kenapa?” tanya Ryousuke innocent.
Daiki mendekat. “ Seharusnya kami yang bertanya, kau kenapa? Dasar Bodoh!” lagi – lagi Daiki mengatai sahabatnya itu bodoh.
“ Heiii, sudah berapa kali ku bilang? Jangan panggil aku bodoh,! Aku tidak suka dibilang bodoh oleh orang bodoh!” teriak Ryosuke cemberut. Sepertinya dia masih seperti biasa, tetap semangat, walaupun terlihat jelas pucat di bibirnya.
“ Aku baru tau kalau orang bodoh sepertimu bisa sakit.” Kata Yuto menimpali. Ia tidak ingin ketinggalan kalau soal mengatai-ngatai ‘bodoh’.
“ Haahhhhh.. kalian ini, merusak istirahatku saja. Lagipula, orang bodoh itu juga manusia..” jawab Ryosuke tidak sadar.
Mereka semua terdiam sejenak, lalu tertawa terbahak-bahak. Termasuk Ryosuke.
“ Hahahaha, ternyata kau mengaku kalau kau itu bodoh.” Ucap Chinen ikut tetawa. Suasana tegang karena kecemasan terhadap Ryosuke tadi menghilang begitu saja digantikan gelak tawa. Tidak ada waktu atau keadaan yang bisa menghilangkan suasana hangat dan akrab diantara empat sahabat itu. Itulah kenapa, masing-masing mereka sangat menghargai satu sama lain, walaupun sering hina2an. Itu hanyalah sebuah lelucon yang tidak akan mereka masukkan kedalam hati.
Pintu kamar Ryosuke berderit.
“ Yamada-kun.” Ucap seorang gadis dengan wajah cemas. Ia segera mendekati Ryosuke yang sedang duduk di atas tempat tidur khusus pasien tanpa mengindahkan orang-orang yang ada didalamnya.
“ Mariya..” jawab Ryosuke, tersenyum.
“ Kau tidak apa-apa?” tanya gadis itu. Malam ini ia tampak sangat cantik, dengan balutan t-shirt dan rok panjang. Feminim sekali.
Ryosuke mengangguk. “ Tentu saja, aku ini kan kuat.” Jawabnya, sombong. Sekuat apapun, tidak ada yang bisa melawan penyakit kan.
“ Kalau begitu, kami keluar dulu ya. Mau beli makanan untukkmu. Haaah, dasar Yama-chan merepotkan.” Kata Daiki minta izin. Ia tidak mau menganggu acara mereka berdua, lagipula satu ruangan dengan gadis sombong itu membuatnya muak.
“ Ooo, terima kasih ..” katanya, melambaikan tangan saat mereka bertiga berjalan keluar kamar. Sementara itu, Mariya tersenyum manis pada Ryosuke. Memberikan perhatian padanya layaknya seorang pacar.
“ Haah, Yama-chan bodoh. Bisa-bisanya dia berhubungan dengan gadis itu.” Keluh Yuto saat mereka sedang menikmati makan malam dengan menu apa adanya. Maklumlah, mereka ada di rumah sakit.
“ Bukankah mereka memang telah berhubungan sejak kecil?” tambah Chinen, sambil menuangkan minum ke gelas nya.
“ Iya, walaupun begitu tetap saja aku tidak suka dengan nona itu. Aku bersyukur bukan dia yang menjadi juara kelas. Oi Chinen, pertahankan prestasimu. Jangan kalah dengan dia.” Ujar Daiki, bersemangat. “ Eh, ngomong-ngomong soal prestasi, bukankah nona galak itu juga kelihatan sangat pintar?”
Mereka mengangguk bersamaan. “ Iya, kalian lihat sendiri kan kemarin kalau dia berhasil menjawab pertanyaan yang diberikan sensei. Sama dengan Chinen dan Nona Nishiuchi..” kata Yuto menambahkan. “ chinen, aku rasa kau akan dapat saingan lagi..”
Chinen tersenyum. “ Aku tidak akan kalah dengan seorang perempuan.” Ujarnya percaya diri.
“ Itu baru Chinen yang aku kenal...” ujar kedua sahabatnya yang lain.
Mereka kembali tertawa, seakan melupakan apa yang mereka bicarakan tadi.Setelah selesai makan, mereka berencana kembali ke kamar Ryosuke untuk mengantarkan makanan. Suasana rumah sakit masih berisik dengan suara sepatu suster dan dokter yang berjalan lalu lalang di koridor. Walaupun sudah lewat jam sembilan, masih banyak pasien yang mangantri untuk berobat. Tentu saja karena penyakit tidak kenal waktu. Kapanpun bisa datang, tanpa memberi toleransi pada korbannya. Rumah sakit besar ini membuat pemasukan yang lumayan, terlebih lagi yang datang kesini adalah orang-orang penting dan kaya. Ternyata kediaman sementara anggota Hey!Say!Jump! dekat dengan rumah sakit mahal.
Mereka sampai didepan kamar Ryosuke, dan menyadari kalau ada yang tidak beres didalam. Chinen segera membuka pintu, daaaann....
“ HaaaaaaHHHH???” teriak mereka bersamaan. Betapa tidak, mereka melihat seorang gadis sedang berpelukan dengan seorang pemuda, dengan posisi yang sungguh tidak enak untuk dilihat. Semuanya spontan menganga, tidak percaya.
“ T-tunggu. Ini bukan seperti yang kalian pikirkan..” Ryosuke langsung memberikan penjelasan, tidak ingin ada salah paham di antara mereka. Pemuda itu mendorong Mariya dengan halus, dan segera membetulkan pakaiannya. Mariya pun melakukan hal yang sama, karena rambut dan pakaiannya terlihat berantakan.
“ Kalau begitu, aku pergi dulu.” Kata gadis satu-satunya diruangan itu cemberut. Sejak kepergok tadi, ia langsung memberikan pandangan tidak suka pada Ryosuke dan sahabatnya. Setelah memastikan gadis itu sudah benar-benar pergi, para sahabat segera meluncurkan pertanyaan.
“ Apa yang kau lakukan?” tanya Chinen tidak sabar.
“ Kenapa seperti itu?” belum selessai pertanyaan Chinen, Daiki juga bertanya.
Ryosuke bingung harus menjawab bagaimana, lalu ia menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
“ Cepat ceritakan!” kata Daiki sekali lagi, ia sudah geram melihat Ryosuke yang sangat tenang. Padahal ia sendiri merasa kejadian tadi bukan sesuatu yang bisa dihadapi dengan tenang.
“ Souuu.. Aku juga tidak mengerti kenapa nona itu tiba-tiba memelukku. Tadi dia kelihatan cemas, lalu memberikanku banyak saran agar aku bisa menjaga kesehatan, dan terjadi lah kejadian itu..” jelasnya, santai sekaliii. Terlalu santai!
“ Berani sekali seorang nona seperti dia bertindak tidak wajar seperti itu. Apa dia tidak takut timbul berbagai prasangka dari orang luar? Yah, walaupun kau sudah dekat dengannya dari dulu..” komentar Chinen seraya duduk disamping Ryosuke. Ia meletakkan makanan yang dibeli tadi di atas meja.
“ Entahlah, aku juga tidak mengerti dengannya. Tadi dia sempat mengatakan hal yang tidak aku mengerti.” Katanya sambil melihat ke langit-langit rumah sakit, berusaha mengingat apa yang telah dikatakan nona itu padanya. “ Oohh, Chinen. Mungkin kau mengerti, kau kan pintar.”
Chinen memandang Ryosuke, lalu mengangguk. “Apa?”
“ Kau itu sangat tidak peka. Tidak bisa kah kau membaca hati seseorang saat mereka memberikan sesuatu yang berbeda padamu, padahal mereka tidak memberikan itu pada orang lain?” kata Ryosuke mengulangi kata-kata Mariya beberapa waktu lalu.
Teman-temannya terdiam. Lalu saling pandang.
“Kenapa kalian diam?” tanya Ryosuke lagi.
“ Haaaah. Untung saja kau itu bodoh. Beruntunglah kau Yama-chan.” Ujar Daiki tersenyum.
“ ternyata kebodohanmu itu bermanfaat juga ya..” tambah Yuto menjahili sahabatnya itu.
“ Yaa, baru kali ini aku bersyukur punya sahabat yang bodoh..” Chinen ikut2an mengata2i sahabatnya.
“ Haaaaaaaaaaaaaaaa, tidak bisakah kalian berhenti mengataiku bodoohhh????” teriak Ryosuke stres. Dia segera mengambil selimut, lalu menutup badannya dengan itu sampai kepalanya pun tidak kelihatan lagi.
“ wah wah, dia ngambek..” ujar Chinen kemudian. Lalu mereka semua tertawa terbahak-bahak..
==>>
Lagi-lagi rasa depresi saat berangkat ke sekolah menyerang gadis ini. Rasanya ingin tidur saja di kamarnya, tidak ingin kemana-mana. Memikirkan akan bertemu dengan orang-orang yang sudah dua hari ini belajar bersamanya di kelas, membuat moodnya langsung berantakan. Kejadian kemarin masih belum bisa dia lupakan, walaupun rasa sakit di pipinya sudah hilang. Semalam ayahnya menyuruhnya minta maaf pada ryosuke, dengan alasan ayahnya yang ngefans dengan Hey!Say!Jump!. Buah tidak akan jatuh jauh dari pohonnya, ternyata pepatah yang tidak bisa dibantah untuk ayah dan anak ini. Sekuat apapun ayahnya memaksa, sekuat itu pula anaknya melawan. Setelah beberapa menit berargumen, akhirnya sang ibu turun tangan . Siapa yang berani melawan seorang perempuan bertitelkan ibu? Tidak ada. Mereka berdua mengalah, dan menghentikan pertengkaran itu, dengan hasil draw. Tidak ada yang menang, dan tidak ada yang kalah. Denata lebih memilih melanjutkan belajarnya, dan si ayah memilih melihat berita di televisi.
Pagi ini dingin sekali. Cuaca mendung sudah menyelimuti kota Tokyo dari shubuh, beserta angin kencang yang mengarah ke selatan. Pohon-pohon yang tidak berdaya dengan patuhnya mengikuti arah angin, hingga rela daun-daun yang masih bisa digunakan untuk fotosintesis itu jatuh ke bumi. Apa lah daya si pohon, dia tidak bisa melawan kekuatan yang lebih besar, bukan? Nah, kesalahan kecil terulang lagi. Denata lupa membawa mantel dan juga payungnya.
Ketika berada tidak jauh dari depan gerbang sekolahnya, terdengar lagi bunyi kring kring sepeda. Denata tahu kalau itu adalah pemuda-pemuda yang kemarin menyapanya. Denata melihat ke belakang, dan tampak Chinen, Yuto, dan daiki. “ Kurang satu orang.” Pikirnya dalam hati. Denata yang masih kesal dengan mereka, tidak mengindahkan sapaan itu.
“ Kami duluan, Hanami-san.” Sapa Yuto ramah, walaupun dia tahu sapaannya tidak akan diindahkan. Ia kemarin kan sempat mencuri dengar pembicaraan Denata dan Ryosuke.
Denata diam saja.
“ Wah, ternyata dia masih marah ya.” Ujar Daiki pada teman-temannya. Mereka pun tersenyum penuh arti, lalu memarkir sepeda.
Denata tiba-tiba berteriak sambil berlari ke arah mereka.
“ Hey,,,” katanya.
Mereka yang dipanggil pun memandang pada gadis itu.
“ A-aku,,” kata nona muda itu lagi sambil mengatur nafasnya yang barantakan.
“ Ya Hanami-san?” tanya Daiki, penasaran.
“ Yamada..” ujar Denata. Mereka tahu kalau maksud Denata adalah menanyakan dimana Ryosuke. “ Oohh, dia ada dirumah sakit. Semalam dia pingsan..” jawab Daiki spontan.
“ Baguslah..” kata Denata terhenti, ia masih kesusahan mengatur nafas.
“ B-bagus?” tanya Yuto memastikan. Tentu saja mereka berpikir kalau Denata benar-benar marah, sampai-sampai dia senang Ryosuke masuk rumah sakit.
“ B-bukan begitu maksudku.” Potong Denata. “ Baguslah aku tidak perlu menyampaikan langsung padanya.”
“ M-menyampaikan langsung?” tanya Yuto lagi. Lagi-lagi mereka berpikiran yang tidak-tidak tentang perkataan Denata.
“ Aku tidak bermaksud untuk berkata kasar kepadanya kemarin. T-tapi jangan pikir kalau aku sudah tidak membenci orang seperti dia, dan juga kalian! Ahhh, bukan itu yang mau aku katakan. A-aku hanya ingin kalian melawan orang yang bertindak sewenang-wenang, dan jangan takut membantu orang-orang yang butuh bantuan walaupun itu harus mengorbankan diri sendiri. Aku tahu, kata-kataku itu terlalu manis, tapi..” perkataan Denata terhenti, karena hujan tiba-tiba turun dengan deras.
Mereka semua berlari menuju tempat yang teduh, melindungi seragam mereka agar tidak basah.
ini masih belom slesai yaa..
BalasHapusbersambung, hehe
kapan slesainya? pnsrn nih
BalasHapus