SIlahkan di nikmati resensi nya
Judul : Orientalis dan Diabolisme Pemikiran
Penulis : Dr. Dyamsuddin Arif
Penerbit : Gema Insani, Jakarta, Indonesia
Tahun Terbit : Cetakan I, 2008
Jumlah halaman : 342 halaman
Resensator : Fakhry Emil Habib
Eksistensi Islam sebagai agama sempurna selalu menarik untuk diperbincangkan. Syariatnya yang sempurna membuat Islam menjadi agama yang perkembangannya paling pesat di seluruh dunia. Islam, tidak hanya memotivasi penganutnya untuk mencapai kesuksesan akhirat, namun juga kesuksesan dunia. Islam tidak hanya memerintahkan umatnya untuk membina hubungan baik dengan Allah, namun juga membangun relasi dengan manusia lainnya. Islam tidak hanya konsern terhadap pembentukan jiwa spiritual yang religius, namun Islam juga memberikan kepedulian dalam sistem politik dan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek). Tak heran, jutaan manusia bersyahadat tiap tahunnya, setelah menemukan kesempurnaan tiada tara dalam Islam.
Pribadi Muhammad saw, Rasul yang diutus Allah membawa ajaran Islam bagi seluruh umat manusia juga selalu memberi inspirasi tiada henti. Kredibelitas beliau sebagai pemimpin religi dan politik tidak diragukan lagi. Bahkan Michael Hart, penulis buku The 100: A Ranking of the Most Influential Persons in History menempatkan beliau pada posisi puncak, sebagai manusia yang meraih kesuksesan dalam kehidupan beragama, politik, ekonomi, sosial, bahkan militer. sosoknya menjadi ukhuwah utama, bukan hanya bagi umat Islam, namun juga bagi seluruh manusia.
Islam memiliki dua pedoman utama, yakni Al-Quran dan hadits. tingginya nilai sastra serta estetikanya menjadikan Al-quran sebagai kitab suci nomor satu yang tidak ada tandingannya. Keotentikannya terjaga karena jutaan manusia yang menghafalnya. Begitupula dengan hadits, perkataan, perbuatan, ketetapan, dan sifat Nabi Muhammad saw yang diriwayatkan dari generasi ke generasi, menjadi bukti betapa mulianya prilaku beliau. Keduanya menjadi pegangan yang memberikan resistensi bagi umat Islam dari kesesatan. Jaminan Allah terbukti dengan selalu ada orang-orang yang menjaga Al-Quran dari distorsi, bahkan interpolasi.
Bicara tentang orientalisme, hal tersebut tidak terlepas dari kolonialisme yang dilakukan negara-negara eropa. Kekuatan Islam yang tidak tergoyahkan membuat mereka kalang kabut, hingga mereka menemukan cara untuk merongrong kedaulatan Islam, yaitu dengan melemahkannya dari dalam. Spirit keislaman harus dihancurkan agar dapat dikuasai, dan berhasil. Sebut saja Snouck Hurgronje yang "berjasa" atas runtuhnya Kesultanan Aceh. Menyamar sebagai seorang ulama besar, ia berhasil menyusup dan diterima dalam komunitas Aceh, bahkan menikahi gadis muslimah pribumi. Strategi yang amat keji, namun efektif.
Setelah berakhirnya era imperialisme barat, orientalisme tidak serta-merta berhenti. Keinginan mereka untuk mengobrak-abrik Islam dalam bungkus ilmiah tetap berjalan. Terbukti dengan banyaknya universitas yang berdiri dengan mengusung studi Islam, mulai dari Universitas Mc'Gail Kanada hingga Universiti Johann Wolfgang Jerman. Tidak ada dasar logis atas begitu besarnya semangat mereka dalam mengkaji Islam, kecuali untuk mancari kelemahan Islam agar mereka dapat menyerang dari dalam. Suatu hal yang memang sudah diwanti-wanti Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 120. Dan memang, tak dapat dipungkiri bahwa kerja keras mereka membuahkan hasil. Diabolisme pemikiran yang mereka usung terbias pada ajaran sekulerisme, pluralisme, dan liberalisme, menyebabkan terjadinya erosi sikap afiliatif muslim terhadap agamanya sendiri, Islam.
Maka mulailah pemikiran umat Islam tertular virus diabolis ini. Banyak yang mulai berpikir bahwa agama, tak terkecuali Islam, hanya mencakup kehidupan manusia dengan tuhannya. Agama tidak konsern terhadap politik, ekonomi ataupun ilmu pengetahuan dan teknologi. Berpikir relatif dengan beranggapan bahwa senua agama meskipun memiliki ajaran yang berbeda, namun memiliki akhir yang sama. Berpikir skeptis dengan meragukan pendapat ulama, pendapat salafunasshalih, meragukan hadits Rasulullah saw, bahkan mulai meragukan keotentikan Al-Quran. Tak ayal lagi, pendangkalan akidah, merosotnya moral, hilangnya daya pikir sehat menjadi dampak yang meluas, semuanya berawal dari diabolisme pemikiran yang dikampanyekan oleh kaum orientalis.
Fenomena semacam ini mengundang keprihatinan berbagai tokoh, termasuk Dr. Syamsuddin Arif, peraih gelar doktor di dua universitas, International Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC) Malaysia dan Johan Wolfgang Universität Frankfurt Jerman. Segala ilmu yang dimilikinya tidak hanya ia simpan, namun juga ia torehkan ke dalam bentuk artikel-artikel ilmiah. Tulisannya yang konsern dalam memproteksi akidah umat dari serangan orientalisme mengundang penerbit Gema Insani untuk merangkumnya dalam satu buku. Orientalis dan Diabolisme pemikiran, sebuah buku yang berasal dari kumpulan artikel-artikel Dr. Syamsuddin Arif, cendikiawan betawi, yang tersebar di berbagai media masa.
Buku setebal 342 halaman ini menyajikan pembahasan yang sistematis. Pada bab pertama beliau memberikan gambaran umum tentang bagaimana posisi orientalis terhadap kajian keislaman, mencakup Al-Quran, hadits Nabi saw, teologi Islam, serta sufisme. Bab II mencakup tantangan ideologi global, khususnya Indonesia, seperti liberalisme, pluralisme agama, sekuralisme, feminisme dan isu gender, legitimasi fatwa MUI, rasisme, dan tirani di balik seni. Wacana keislaman mutakhir juga dijelaskan secara gamblang di bab selanjutnya, menjelaskan "senjata" kaum orientalis dalam menghancurkan Islam. Dalam bab akhir, beliau meluruskan statement negatif tentang sebagian ulama seperti Ibnu Arabi dan Ibnu Sina, juga memberikan amunisi bagi pembaca untuk mempertahankan kesehatan logika.
Sebagai sebuah buku yang dikarang oleh cendikiawan yang kredibilitasnya diakui, buku ini menyuguhkan data-data valid dari berbagai belahan dunia, disampaikan dengan bahasa yang lugas, jelas dan tegas. Bukan hanya memberikan penguat berupa Al-Quran dan hadits, buku ini juga dilengkapi pendekatan historis, analisis filsafat, serta perkembangan orientalis serta orientalisme itu sendiri. Pembahasan yang memang merupakan masalah krusial yang terjadi di tanah air menjadikan buku ini menjadi salah satu "bacaan wajib" bagi mahasiswa Indonesia yang mempelajari Islam sebagai sebuah senjata sekaligus tameng di medan dakwah nantinya.
Meski nyaris mendekati sempurna, namun buku ini masih memiliki kekurangan. Di antaranya kutipan bahasa asing seperti bahasa Inggris, Jerman, Prancis ataupun Greek yang tidak disertai dengan terjemahan hingga mengharuskan pembaca untuk membuka kamus atau menggunakan google translate agar dapat memahaminya. Namun kesulitan tersebut dapat diatasi karena adanya kemudahan yang ditawarkan teknologi.
Sebagai buku yang merupakan upaya riil untuk berubah dan mengubah diri dari kondisi yang selam ini terhegemoni oleh framework dan worldview orientalis dan barat, tentu buku ini mendapat stigma negatif dari berbagai kalangan, namun sangat naif bagi kita sebagai calon ulama yang juga memiliki framework sebagai pejuang di jalan Allah untuk ikut terpengaruh. Selalu ada tantangan di setiap jalan dakwah, dan semoga kita bukan termasuk "tantangan-tantangan" tersebut. Sebagai muslim secara global, hendaknya kita meniatkan segala apa yang kita lakukan untuk Allah semata, dan hendaknya kita selalu berdoa kepada-Nya agar Dia selalu menuntun kita untuk jadi lebih baik.