Dari bukit ini aku bisa menatap
pemandangan kota yang terhampar jauh hingga lautan lepas. Biasanya setelah
kuliah usai aku memang sering duduk di sini, di depan gedung rektorat yang
langsung berhadapan dengan bundaran utama kampusku, di ketinggian daratan yang
menopang kokoh berdirinya kampusku. Ya, kampusku berada di atas bukit yang
masih cukup hijau. Dan dari sini aku bisa menyaksikan puluhan kendaraan berlalu
lalang masuk dan keluar lingkungan kampus. Di sini juga biasanya ku jadikan
tempat menunggu si Biru, pemuda semampai dengan cadel R dan merupakan surfer
idolaku. Ditemani hamparan rumput hijau yang membentang di sekeliling “helipad”
juga pohon-pohon yang menjulang, aku duduk beralas batu yang melingkar sembari
dengarkan musik-musik yang hilangkan jemuku saat menunggu. Tempat ini memang
nyaris seperti lokasi pendaratan helikopter, dengan pola tembok melingkar dan
sedikit lebih tinggi dari tanah di sekitarnya.
“Hoi Merah! Ngelamun aja..” ujar Lita dengan tangan kiri menggenggam segelas plastik jus jeruk dan tangan kanan mendarat di bahuku. Bermaksud mengagetkan mungkin.
“Hoi Merah! Ngelamun aja..” ujar Lita dengan tangan kiri menggenggam segelas plastik jus jeruk dan tangan kanan mendarat di bahuku. Bermaksud mengagetkan mungkin.
Seketika kulepaskan headset yang sejak
setengah jam lalu menyumbat kedua telingaku. Senandung lagu yang memenuhi
kupingku pun berhenti.
“Denger musik to.?” Sambungnya dengan logat jawa kental, diikuti lukisan cemberut di wajah gadis 19 tahun ini.
“Kenapa Nyet.?” tanyaku tanpa dosa dan masih dengan panggilan akrabnya.
Ku sambar jus di tangannya saat dia
mulai mengambil tempat di sebelahku.
“Habis kamu nggak kaget sih,” jawabnya sendu.
“Haha. Iya iya. Aku kaget ni,” kataku
mencoba menghibur. “Masih ada kuliah lagi.?” Sambungku.
“Ada, nanti jam 2. Aku laper. Ayo makan!” ditariknya tanganku hingga kami menuruni tangga yang berakhir di pinggir jalan di sisi bundaran utama.
Kami telusuri trotoar hingga sampai di gedung kantin dan Lita langsung memesan makanan dan minuman untuk kami berdua. Dia pun segera hempaskan pantatnya di bangku di depanku.
“Hah, lagi-lagi aku ketiduran. Si Kumis itu menegurku lagi,”cetusnya. “Dia selalu saja mendongeng di kelas. Aku jadi mengantuk,” lanjutnya sembari meletakkan kepala di atas kedua tangan yang dilipat di meja.
“Cuma satu semester ini juga. Semangatlah Nyet! Dia tak seburuk itu. Tapi mungkin aku akan lebih bosan jika semester depan juga bertemu dia,” aku memang sedikit tertinggal dari mata kuliah yang diambil Lita. Dia mendahuluiku beberapa mata kuliah karena 2 semester belakangan aku tak mengambil bagian jatah kuliahku.
Aku berhenti sementara sejak akhir 2 semester yang lalu. Akibatnya saat ini aku hanya bisa sekelas dengan angkatan yang berada setahun di bawahku.
Pesanan kami pun datang, persis seperti
menu yang ku mau. Mi goreng tanpa kerupuk dan sayuran ditambah jus jeruk yang
tak terlalu manis. Lita mengangkat kepalanya kembali. Langsung saja dia
menyeruput jus jeruk jatahnya lalu menyambar sendok dan garpu, kemudian mulai
menyuap nasi goreng pesanannya.
“Nyet,” kataku kembali membuka pembicaraan.
“Opo.?” Dia menjawab masih dengan
‘Jowo’-nya. Sahabatku ini memang masih sering menceploskan ‘bahasa ibu’-nya
meski kadang-kadang mulai terpengaruh dengan bahasa ‘totok’-ku.
“Aku mau surfing lagi,” ujarku.
Dia tersedak. Segera disambarnya kembali jus di hadapannya yang telah nyaris habis separuh.
“Apa? Udah gila kamu? Udah kamu pikirin
matang-matang? Edan!”
“Iya, udah aku pikirin kok. Bahkan
karena aku sekarang terlalu waras makanya aku putuskan buat terjun lagi.
Rasanya aku nggak betah lama-lama stop meluncur Nyet,” ucapku perlahan.
“Kamu lupa? Tiga bulan yang lalu kamu masih ‘edan’ gara-gara ombak itu. Memangnya udah berapa lama dokter bilang kamu itu sembuh total ha? Belum nyampe enam bulan, Rah,” terdengar jelas dia berusaha menahan emosi dengan suaranya yang nyaris berbisik.
“Aku udah mikirin tentang ini
sebelumnya Lita. Aku yakin aku tak akan apa-apa. Walau baru saja sembuh, tapi
aku sudah sembuh. Tak akan ada yang perlu dicemaskan Nyet. Aku masih sadar dan
aku tak mau terjebak dalam trauma bodoh ini,” ujarku mencoba tetap tenang meski
ada sedikit kegetiran di hatiku ketika mengingat peristiwa setahun yang lalu.
Masih jelas tergambar dalam bayanganku, ketika aku baru saja merayakan ulang tahunku yang ke 19. Saat itu aku mendapatkan papan luncur dengan motif dominan warna merah dan biru yang sangat aku suka sebagai hadiah ulang tahun. Tak tergambar betapa gembiranya aku. Ditambah lagi pelopor munculnya hadiah itu adalah Biru-ku, seseorang yang telah ku-‘incar’ selama enam bulan lebih dan berhasil ku dapatkan hatinya sehari menjelang pentas seni tahun lalu. Biru yang membuatku memulai hobi surfing ini. Dia menyebut ini sebagai olahraga orang-orang yang tak pernah putus asa, karena selalu bisa meluncur di atas ombak, tergulung, terjatuh, lalu bangkit lagi.
Dan sore itu juga, aku ingin mencoba papanku untuk yang pertama kalinya. Aku dengan setelan kaos merah dan celana biru selutut bersama Biru dan Lita memutuskan untuk surfing menjelang matahari terbenam. Aku sangat girang. Biru dan Lita sepertinya memang hanya ingin menonton kebahagiaanku hari ini. Mereka berdua sesekali menyorakiku dari pinggir pantai sambil membereskan barang-barang yang hanya kutinggal begitu saja di dekat mereka.
Seolah tak puas merasakan betapa hebatnya papan luncur baruku ini, aku meluncur berkali-kali. Berkali-kali juga aku jatuh, tercebur ke air, muncul ke permukaan, lalu kembali bergabung dengan papanku. “Ombak ini takkan menumbangkanku dengan papan ini,” pikirku bangga.
Lalu terakhir yang ku ingat, aku masih
tetap meluncur membelah ombak, masih seperti biasa. Tapi kemudian aku
kehilangan keseimbanganku. Aku jatuh ke air. Segera ku berusaha untuk kembali
mengayuh ke permukaan. Namun begitu berhasil menghirup udara bebas, aku kembali
tenggelam. Aku masih saja mencoba untuk berenang lagi, tapi kemudian aku sama
sekali tak punya tenaga untuk mencapai permukaan. Aku mulai tersedak. Nafasku
sesak dan aku benar-benar tak mampu bergerak lagi. Aku masih sadar ketika
sebuah cengkeraman kuat menarik lengan kananku. Tapi aku sudah tak sanggup dan
benar-benar kehilangan kesadaranku. Sekelilingku gelap.
* * *
Begitu sadar, aku telah berada di ruangan serba putih dan aku tak
lagi bersama setelan merah biruku. Di samping tempat tidurku terlihat mama dan
papa yang tengah duduk di bangku berwarna hijau. Sedang Icin dan Putra, kakak
dan adikku, hanya berdiri terpaku di belakang kedua orang tuaku.
Di sisi berlawanan aku juga menyaksikan
Lita terisak dengan mata sembabnya. Mereka semua bergerumul mengelilingiku
ketika aku terbangun.
“Mah, Biru mana? Aku mau ketemu dia. Bolehkan Ma?” tanyaku saat mama mencoba mengusap keningku.
Mama hanya terdiam. Lalu memberi
isyarat pada Lita untuk menjawab tanyaku.
“Rah, Biru nggak ada di sini. Kamu nggak bisa ketemu dia,” Lita mulai bersuara.
“Rah, Biru nggak ada di sini. Kamu nggak bisa ketemu dia,” Lita mulai bersuara.
“Lho, kenapa Lit? Aku mau ketemu dia
sekarang. Masa’ sih dia nggak temenin aku di sini,” dengan wajah kecewa aku
menuntut jawaban pada Lita, juga pada Mama dan Papa.
Lita mengusap matanya perlahan. Kali
ini dia menggenggam tanganku erat-erat.
"Dia nggak bisa ke sini Rah,” suasana pun menjadi lebih hening.
"Dia nggak bisa ke sini Rah,” suasana pun menjadi lebih hening.
“Dia... Biru... Biru...” Lita seolah
tak sanggup melanjutkan kata-katanya.
“Aku sangat berharap kamu segera
terbangun sejak semalam. Sudah tiga hari kamu nggak sadar. Selama itu juga
dokter mengusahakan kehidupan Biru,” sambung Lita.
“Maksud kamu?” masih tak yakin dengan
apa yang tergambar dalam benakku.
“Biru mencoba menyelamatkan kamu pasca
tenggelam. Dia berusaha keras membawa kamu dan papanmu ke darat. Tapi terlalu
kerepotan. Akhirnya dia putuskan untuk memprioritaskan kamu, tentu saja,” Lita
berkali-kali mengusap matanya.
“Tim medis segera datang waktu kalian
sampai di darat. Saat kamu telah ditangani, Biru ingat papanmu. Dia kembali ke
laut. Mengejar papanmu secepat yang dia mampu. Tapi sampai hari semakin gelap,
dia tak kembali Rah”.
Aku mulai terkejut dan mengerti arah
penjelasan Lita. Air mataku mulai menetes.
“Orang-orang di pantai mulai cemas. Mereka semua mulai bergerak mencari Biru dengan sampan. Dia baru ditemukan dua jam setelah orang-orang itu turun ke laut. Dia berhasil mencapai papanmu. Bahkan papan punyamu itu juga sudah sampai ke darat,” Lita memperlihatkan sedikit senyum yang terlihat sangat pahit untukku.
“Tapi Biru terlalu lelah Rah. Kondisinya bahkan lebih parah daripada kamu. Dokter berusaha mempertahankan dia. Tapi ternyata dia terlalu lama menunggu kamu bangun, Merah,” Lita kembali memutus-mutus ceritanya. Dia harus berkali-kali mengusap air matanya yang tak berhenti mengalir.
“Lit?” ujarku menuntut dia kembali
menyelesaikan ceritanya.
“Dia dimakamkan tadi pagi,” aku
mendapat jawabanku. Spontan aku menangis sejadi-jadinya. Mama dan Papa berusaha
menenangkan aku yang mulai meronta-ronta. Berusaha melepaskan diriku. Mencoba
mengejar Biru-ku. Aku berhasil keluar dari kamar perawatanku, tapi beberapa
langkah setelah melewati pintu, sekelilingku kembali gelap. Aku tumbang dan
kehilangan kesadaranku kembali.
* * *
Setelah bangun keesokan harinya, aku
sama sekali tak mau makan, aku hanya sanggup menangis di kamar perawatanku.
Sampai seminggu kemuian akhirnya aku dipulangkan karena kondisi fisikku telah
dinyatakan pulih. Dokter hanya memesankan kepada mama agar menjagaku baik-baik.
Katanya aku sekarang amat sangat labil sekali. Tak bisa disebut waras, tapi tak
juga bisa disebut ‘edan’ jika ku pinjam kata-kata Lita.
Selama tiga bulan lebih aku hanya
berkurung di rumah. Tak ingin ke mana-mana. Tak ingin lakukan apa-apa. Mama dan
Lita berusaha keras agar aku kembali jadi manusia seutuhnya. Bukan “hidup
segan, mati tak mau” begini. Akhirnya mereka berdua memutuskan untuk mengurus
cuti kuliahku. Aku hidup dalam sunyi hatiku selama tiga bulan lebih. Bahkan
lebih monoton dari televisi hitam putih yang beredar saat mama masih remaja.
Selama tiga bulan itu juga papan luncurku hanya berdiri tegak di samping pintu
kamar, berada tepat di samping tempat tidurku. Semakin sering ku melihat benda
kesayanganku ini, semakin rindu aku pada Biru-ku. Aku sepertinya sudah tak lagi
mampu menghadapi hidupku. Entahlah, kalau saja tak ada mama dann Lita, entah
pikiran nekat macam apa yang berkelebat di ingatanku.
Akhirnya mama memutuskan untuk mencoba
berbagai cara menyembuhkan mentalku. Ke berbagai psikiater, konsul ke dokter
spesialis, bahkan terapi pun diberikan beliau untukku. Dan setelah enam bulan
dalam proses menyusun potongan puzzle
jiwaku yang berserakan, aku dinyatakan sehat fisik dan mental oleh
dokter. Betapa bahagianya aku, mama, juga Lita pada saat itu. Dan salah satu
akibat dari semua pengobatan itu, papan merah biruku kini telah menjadi bagian
tergelap dari gudang belakang rumah.
Sekarang, di sinilah aku. Telah tiga bulan lebih kembali menjalani kehidupan normalku sebagai mahasiswi perguruan tinggi. Meski sepotong puzzle tak lagi pernah ku temukan, Biru adalah potongan yang hilang itu. Tapi aku tetap berusaha untuk berdiri kokoh dengan puzzle-puzzle yang tersisa.
“Kamu yakin sama keputusan kamu Rah?”
pertanyaan Lita membuyarkan lamunanku.
“Iya Nyet. Aku udah pikirin sebelumnya
kok. Mama juga udah menyerahkan semuanya padaku. Aku Cuma ingin kalian percaya
padaku. Aku tak akan apa-apa,” ujarku masih berusaha meyakinkan Lita.
Ku suap lagi mi goreng ku yang ternyata
telah nyaris habis.
“Kalau kamu udah bilang gitu, aku bisa
apa Rah. Hanya ‘hati-hati’ pesanku,” jawabnya dengan lembut. “Jadi kapan?”
sambungnya.
Hah, sahabatku yang satu ini memang ‘super sekali’. Belum ada yang melebihi dia. Meski sebenarnya aku masih sedikit takut untuk memenuhi keinginanku untuk meluncur, tapi keyakinan mama dan Lita takkan ku sia-siakan.
“Rah? Merah?” Lita mengguncang
tanganku.
“He? Apa?” jawabku kaget.
“Huf, kapan kamu mau main?” tanyanya
lagi.
“Besok. Aku mau main besok pagi,” ujarku
yakin.
* * *
Matahari telah terbit dan aku telah
selesai bersiap-siap dengan peralatan suringku. Sun block, handuk, sabun, baju
ganti, dan jaket. Haha, masih sama seperti persiapan yang kubawa sejak setahun
yang lalu. Hari ini aku juga mengenakan setelan merah biru-ku. Persis seperti
hari itu.
“Udah siap Rah?” Lita muncul dari pintu
kamar.
“Iya, sudah. Tapi sepertinya ada yang
kurang Nyet,” ujarku menggaruk-garuk kepala. Mencoba menemukan apa yang masih
ku butuhkan.
“Mungkin kamu lupa menyiapkan ini,” katanya
sembari membawa papanku dan menaruhnya di atas kasur, sejajar dengan ranselku.
“Ah, Rinka Verlita. Terima kasih banyak
untuk semuanya,” ku peluk dia erat-erat.
“Terima kasih kembali, Merah
Berlianda,” ujarnya.
Lalu kami berangkat dengan bersepeda ke
pantai tempat aku dan Biru biasa berselancar. Sesampainya di sana aku kaget.
Sudah ada teman-temanku dan Biru saat kami surfing. Mereka semua tersenyum saat
satu persatu menyalamiku. Seolah memberi salam selamat datang kembali.
Ketika ombak mulai memanggil, segera ku
ambil papan biru merah kesayanganku itu.
“Kamu yakin Rah?” tegur Lita tepat saat
kakiku menyentuh air untuk pertama kali setelah beberapa lama.
“Iya Rah. Aku tak akan apa-apa,” jawabku sambil melemparkan senyum termanis yang bisa ku munculkan pagi itu.
“Iya Rah. Aku tak akan apa-apa,” jawabku sambil melemparkan senyum termanis yang bisa ku munculkan pagi itu.
Lita membalas senyumku. Aku mulai
berjalan ke air bersama papanku. Berenang sekuatku, lalu menikmati angin yang
berhembus ketika aku bersama merah biruku memecah ombak. Aku merasa kembali
benar-benar bebas.
widodo,,,monggo sob..kalo ente pengen sumbang karya ente k blog ane,,dapat menghubungi ane sob
BalasHapuskeren sob cerpenya ajarin dong sob
BalasHapus